REPUBLIKA. CO. ID, JAKARTA – Ungkapan tasbih ialah bentuk pujian tertinggi dan pengagungan umat Islam terhadap Allah SWT. Bacaan tasbih biasanya disatukan secara bentuk dzikir lainnya, seperti tahmid, tahlil, serta takbir.
Kebaikan tasbih sebagai bentuk pujian pada Sang Pencipta tertuang dalam surat al-Ahzab ayat 42. Dalam tulisan itu disebutkan: وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا “Bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. ”
Beberapa di kurun keutamaan tasbih adalah, bila membacanya sebanyak 100 kali dalam sehari maka akan diampuni dosanya walaupun seperti buih di lautan. Tidak hanya itu, bagi yang membaca Subhanallahi wa bihamdihi 100 kali tiap pagi dan petang, maka tak akan ada orang yang membawa balasan melebihi dia kecuali orang itu juga membaca tasbih seperti yang dia lakukan, atau lebih penuh lagi.
Kata tasbih pula sering diartikan dzikir di di agama Islam. Ada beberapa wujud zikir, salah satunya ialah dzikir dengan lisan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara melafazkan kalimat tasbih. Kata tasbih sendiri merupakan masdar dari kata kerja sabbaha yang berpengaruh menyucikan.
Surat-surat dalam Alquran yang awalannya mengandung tasbih disebut sebagai ‘Al-Musabbihat’. Nashruddin Baidan, dalam buku Metode Penafsiran Al-Quran, menyebut ada tujuh surat yang dimulai dari kausa kata sabbaha dan hadir dalam bervariasi bentuk.
Empat bentuk yang dimaksud adalah s ubhana (masdar) pada surat al-Isra’, wujud sabbaha (fi’l madhi) pada surat al-Hadid, al-Hasyr dan al-Saff, bentuk yusabbihu (fi’l mudhari’ ) pada surat al-Jumu’ah dan al-Taghabun, serta bentuk sabbih (fi’l al-amr) di surat al-A’la.
Surat-surat itu juga dikenal mempunyai perurutan logis, bukan hanya dari segi makna, melainkan selalu dari segi bentuk kata dengan dipilih dari sudut pandang kebahasaan. Menurut Nashruddin Baidan, hal itu berkaitan dengan perbedaan bentuk perkataan.